Aku memandang ke kanan dan ke kiri. Hmm, sepi sekali disini. Mataku tertumbuk pada sosok pria di luar sana, yang sedang melangkahkan kakinya mantap menyusuri jalanan. Entah kenapa, aku tertarik padanya. Pada tubuhnya yang tegap, tinggi, kulitnya yang bersih, rambutnya yang tercukur rapi.
Pasti dia wangi, batinku dalam hati. Kubayangkan dia memelukku hangat, sehingga aku bisa menghirup aroma parfumnya sampai puas.
Eh? Lho, kok aku mengkhayal yang tidak-tidak? Kenalan saja belum. Hatiku memprotes khayalan otakku. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku ingin sekali berdekatan dengannya. Aneh, perasaan ini baru sekarang kualami. Ingin berdekatan dengan orang yang bahkan tidak kukenal, yang namanya saja tidak kuketahui.
Oh, ayolaaahhh… Masuklah kesini, sehingga aku bisa mengenalmu. Tak sadar aku memohon dalam hati. Memohon dengan sangat.
Seakan mendengar permohonan batinku, pria itu tiba-tiba berhenti di depan toko. Dia termenung sesaat, seakan menimbang-nimbang apakah akan masuk atau tidak ke dalam toko.
Ayolaaaaahh, masuk sajaaaaa…
Tiba-tiba pandangan matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Refleks aku membuang muka. Aku merasakan pipiku merona, malu karena sudah ketahuan melihatinya dari tadi. Aku sempat mencuri pandang sekali lagi, ternyata pria itu masih memandangiku dari jauh, tersenyum manis. Aku seakan meleleh melihat senyumnya, kakiku melemas, dan spontan aku tersenyum balik padanya.
TING! Bel yang sengaja digantungkan di pintu, sehingga akan berbunyi tiap pintu itu terbuka atau menutup, berbunyi kencang. Bunyi bel itu mengagetkanku. Aku pun menoleh penuh harap ke arah pintu, berharap pria itu masuk ke dalam toko.
Ah, dia masuk… Hatiku berdebar kencang melihatnya berjalan mendekatiku. Semakin pria itu mendekat, aku semakin tertarik padanya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya, seakan ia telah menemukan sesuatu yang ditunggunya selama ini.
Dia semakin mendekat. Aku semakin salah tingkah, dipandangi begitu rupa olehnya. Pandangannya begitu jujur, aku bisa melihat ketertarikan yang sama di matanya. Dia memandangiku tanpa malu-malu, sementara aku hanya berani mencuri pandang saja padanya.
“Kamu cantik sekali.”, kudengar suara pria itu memujiku. Rasanya aku ingin pingsan, dipuji olehnya yang kupuja. Namun suaraku seakan hilang, aku tak bisa menjawab pujian darinya.
Bodoh! Bilang “terima kasih”! Katakan sesuatu untuk memecahkan kekakuan ini!, aku memaki diriku sendiri.
“Kok diam saja?”, pria itu kembali bertanya. Mungkin dia bingung dengan kebisuanku.
“Halo, siapa namamu?”, pria itu bertanya untuk ketiga kalinya.
“Namanya Eva.”, jawab temanku, sambil tersenyum menyemangatiku agar bisa menguasai diri dan bersuara lagi.
Terima kasih, kau telah memberitahunya namaku. Aku sama sekali tak bisa berkata-kata di depan pria ini., kulempar pandangan penuh terima kasih pada temanku, sang penyelamat suasana.
“Namanya cantik, cocok sekali untuk dia.”, pria itu kembali memujiku. Tiba-tiba pria itu memelukku erat, hangat, membuatku tergagap kaget.
“Maukah kau menjadi temanku, Eva?”
“Miaaww..”, jawabku akhirnya, setelah kuperoleh kembali suaraku.
Mau, aku mau sekali menjadi temanmu.
Comments
Post a Comment