Skip to main content

Halo, siapa namamu?


Aku memandang ke kanan dan ke kiri. Hmm, sepi sekali disini. Mataku tertumbuk pada sosok pria di luar sana, yang sedang melangkahkan kakinya mantap menyusuri jalanan. Entah kenapa, aku tertarik padanya. Pada tubuhnya yang tegap, tinggi, kulitnya yang bersih, rambutnya yang tercukur rapi.

Pasti dia wangi, batinku dalam hati. Kubayangkan dia memelukku hangat, sehingga aku bisa menghirup aroma parfumnya sampai puas.

Eh? Lho, kok aku mengkhayal yang tidak-tidak? Kenalan saja belum. Hatiku memprotes khayalan otakku. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku ingin sekali berdekatan dengannya. Aneh, perasaan ini baru sekarang kualami. Ingin berdekatan dengan orang yang bahkan tidak kukenal, yang namanya saja tidak kuketahui.

Oh, ayolaaahhh… Masuklah kesini, sehingga aku bisa mengenalmu. Tak sadar aku memohon dalam hati. Memohon dengan sangat.

Seakan mendengar permohonan batinku, pria itu tiba-tiba berhenti di depan toko. Dia termenung sesaat, seakan menimbang-nimbang apakah akan masuk atau tidak ke dalam toko.

Ayolaaaaahh, masuk sajaaaaa…

Tiba-tiba pandangan matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Refleks aku membuang muka. Aku merasakan pipiku merona, malu karena sudah ketahuan melihatinya dari tadi. Aku sempat mencuri pandang sekali lagi, ternyata pria itu masih memandangiku dari jauh, tersenyum manis. Aku seakan meleleh melihat senyumnya, kakiku melemas, dan spontan aku tersenyum balik padanya.

TING! Bel yang sengaja digantungkan di pintu, sehingga akan berbunyi tiap pintu itu terbuka atau menutup, berbunyi kencang. Bunyi bel itu mengagetkanku. Aku pun menoleh penuh harap ke arah pintu, berharap pria itu masuk ke dalam toko.

Ah, dia masuk… Hatiku berdebar kencang melihatnya berjalan mendekatiku. Semakin pria itu mendekat, aku semakin tertarik padanya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya, seakan ia telah menemukan sesuatu yang ditunggunya selama ini.

Dia semakin mendekat. Aku semakin salah tingkah, dipandangi begitu rupa olehnya. Pandangannya begitu jujur, aku bisa melihat ketertarikan yang sama di matanya. Dia memandangiku tanpa malu-malu, sementara aku hanya berani mencuri pandang saja padanya.

“Kamu cantik sekali.”, kudengar suara pria itu memujiku. Rasanya aku ingin pingsan, dipuji olehnya yang kupuja. Namun suaraku seakan hilang, aku tak bisa menjawab pujian darinya.

Bodoh! Bilang “terima kasih”! Katakan sesuatu untuk memecahkan kekakuan ini!, aku memaki diriku sendiri.

“Kok diam saja?”, pria itu kembali bertanya. Mungkin dia bingung dengan kebisuanku.

“Halo, siapa namamu?”, pria itu bertanya untuk ketiga kalinya.

“Namanya Eva.”, jawab temanku, sambil tersenyum menyemangatiku agar bisa menguasai diri dan bersuara lagi.

Terima kasih, kau telah memberitahunya namaku. Aku sama sekali tak bisa berkata-kata di depan pria ini., kulempar pandangan penuh terima kasih pada temanku, sang penyelamat suasana.

“Namanya cantik, cocok sekali untuk dia.”, pria itu kembali memujiku. Tiba-tiba pria itu memelukku erat, hangat, membuatku tergagap kaget.

“Maukah kau menjadi temanku, Eva?”

“Miaaww..”, jawabku akhirnya, setelah kuperoleh kembali suaraku.
Mau, aku mau sekali menjadi temanmu.

Comments

Popular posts from this blog

Kamu yang Entah Dimana

Mendadak merasa lelah  Seakan tubuh ini pecah  Pikiran pastinya gundah  Penat di hati membuncah  Ingin ada seseorang di sebelah  Yang ada saat aku payah  Sabar ketika aku marah  Sayangi aku tak terbelah  Hai kamu yang entah dimana  Kapan ya kamu ada?  Kapan ya kita berjumpa?  Aku inginnya segera  Hai kamu yang entah dimana  Apa kamu belum lelah berkelana?  Apa kamu belum ingin melabuhkan jiwa?  Denganku berbagi suka duka  Hai kamu yang entah dimana  Aku sudah lelah sendiri saja  Ingin bersama kamu secepatnya  Saling menyayangi seutuhnya  Hai kamu yang entah dimana  Bersua denganku yuk, segera?  Lalu kita berkelana bersama  Kesini dan kesana berdua 

DAG DIG DUG!

Kulangkahkan kaki menuju pantry . Kutenangkan diriku, kuhirup nafas panjang. Tarik nafas, buang nafas, tarik nafas, buang nafas… Kubuat secangkir teh panas. Kental. Pahit. Lalu kubawa cangkir itu ke meja kerjaku. Kulirik jam dinding, masih jam 7.30 pagi. Dia belum datang. DAG DIG DUG! Aku berusaha menenangkan diriku. Mataku tak lepas memandang pintu, sambil kuhirup tehku perlahan-lahan. Rasa pahitnya menyerang indra perasaku, sepahit apa yang kurasakan saat ini. Kenapa dia belum datang? Jam sudah menunjukkan pukul 7.45. Jam 7.55, dia masih belum datang. Ah, apa dia sakit? Kalau dia tidak datang, terpaksa aku menunda omongan ini sampai besok. Padahal aku sudah tidak sanggup lagi memendamnya. Sudah beberapa hari ini aku berperang dengan batinku sendiri, kapankah waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur nyenyak, khawatir akan tanggapannya tentang ini. DAG DIG DUG! Dia datang! Tepat pukul 8.00. Seperti biasa dia menyebarkan senyuman mau...

I beg you, please...

The more I tell myself not to fall for you, the more I fell.. Your little gestures make my heart melts over and over again. You come to help when I ask, without hesitate, with no fuss. You're willing to bring something I want, no questions asked, not feeling burdened. You are kind to me. Too kind. It makes me question if there is any love hidden beneath your actions. If you don't love me, please don't be that kind. Please... I beg you, please don't be too kind to me... I'm not sure I can handle any more heartache. Please... I beg you, please don't be too kind to me. For I might want you more than I would, need you more than I could, and love you more than I should. Please... I beg you, please.......