Kulangkahkan kaki menuju pantry. Kutenangkan diriku, kuhirup nafas panjang. Tarik nafas, buang nafas, tarik nafas, buang nafas… Kubuat secangkir teh panas. Kental. Pahit. Lalu kubawa cangkir itu ke meja kerjaku. Kulirik jam dinding, masih jam 7.30 pagi. Dia belum datang.
DAG DIG DUG!
Aku berusaha menenangkan diriku. Mataku tak lepas memandang pintu, sambil kuhirup tehku perlahan-lahan. Rasa pahitnya menyerang indra perasaku, sepahit apa yang kurasakan saat ini. Kenapa dia belum datang? Jam sudah menunjukkan pukul 7.45.
Jam 7.55, dia masih belum datang. Ah, apa dia sakit? Kalau dia tidak datang, terpaksa aku menunda omongan ini sampai besok. Padahal aku sudah tidak sanggup lagi memendamnya. Sudah beberapa hari ini aku berperang dengan batinku sendiri, kapankah waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur nyenyak, khawatir akan tanggapannya tentang ini.
DAG DIG DUG!
Dia datang! Tepat pukul 8.00. Seperti biasa dia menyebarkan senyuman mautnya pada semua orang di ruangan. Dengan ramah dia menyapa selamat pagi pada semuanya. Dia duduk di mejanya, terseling 2 meja di sebelah kiriku. Aku memaksakan senyum ketika dia menyapaku.
DAG DIG DUG!
Apakah hari ini akan kubicarakan dengannya? Batinku masih berperang. Namun aku sudah tidak kuat lagi menyembunyikannya. Kulirik dia perlahan, sambil berpura-pura berbicara dengan rekan kerja di sebelah mejaku. Sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang baik. Sedari pagi senyum tak pernah lepas dari bibirnya yang merah. Baguslah, apa yang akan kubicarakan ini memang membutuhkan suasana hati yang baik.
Aku mencoba berkonsentrasi pada pekerjaanku, pada layar komputer di depanku yang menunjukkan angka-angka nan ruwet. Kuseruput lagi tehku, sudah dingin, tapi masih pahit. Pahitnya menenangkan diriku, menguatkan niatku untuk berbicara. Kuelus perutku perlahan. Aku akan membicarakannya hari ini, tidak bisa ditunda lagi.
DAG DIG DUG!
Kulirik jam dinding sekali lagi, sudah jam 10 pagi. Kapan waktu yang tepat untuk berbicara? Berbicara berdua saja dengannya, tanpa ada rekan kerja lainnya yang mendengarkan. Sepertinya sesaat sebelum istirahat siang adalah waktu yang paling tepat. Aku akan menghadap, lalu mengulur waktu sejenak sampai semua orang pergi menuju kantin untuk makan siang. Ya, sesaat sebelum makan siang.
Dari mana harus kumulai pembicaraan ini? Kuelus lagi perutku dengan lembut. Sedari pagi perutku seakan memberontak, memberikan rasa mual. Pahitnya teh bisa menenangkanku sejenak. Kulirik lagi dia, dia sedang serius bekerja. Begitu memesona. Kulirik jam, baru jam 10.15. Masih lama sampai waktu istirahat. Apalagi yang bisa kulakukan untuk mengalihkan perhatianku dari rasa mual ini, dari rasa deg-degan tak karuan ini?
DAG DIG DUG!
Aku mulai kehabisan pengalih perhatian. Pekerjaanku pagi ini sudah selesai. Dan sekarang baru jam 10.50. Mual kembali menyerang. Tehku sudah habis. Aku beranjak lagi ke pantry, kubuat teh pahit kental panas satu mug besar. Kembali ke meja, kembali bekerja.
DAG DIG DUG!
Akhirnya jam 11.55! Kutarik nafas panjang, kutenangkan diriku, kukuatkan niatku. Aku pun berdiri, menuju ke mejanya. Dia tersenyum melihatku menghampirinya. Aku tersenyum balik, kulawan rasa mual itu.
“Saya perlu bicara, pak.”, sapaku, sambil duduk dihadapannya. Kuelus perutku.
“Ya, ada apa?”, tanyanya.
“Pak, saya mau resign.”, plong sudah hatiku.
Deg-degan mau resign :D
ReplyDeleteIkut bisa merasakan.. *kerja aja belum*
:P
Salam kenal, mbak :)
Mampir blogku juga ya, hihi.
Salam kenal juga. Terima kasih sudah mampir. Nanti aku mampir balik yaa.. :)
DeleteHmm... Perlu pesangon?
ReplyDelete*bos baik hati*
Wah, mau kasih pesangon? Xixixi..
Delete