Skip to main content

Last to Know

"Happy 4th anniversary, hon!", Bintang berkata dengan ceria. Ia lalu menyodorkan sebuah kotak kecil. Pikiran Tara berpacu. "Apakah ini .... cincin?", pikirnya dalam hati.

"Ah, belum tentu cincin. Ayo, Ra, ga boleh ge-er.", Tara menyuruh dirinya sendiri untuk kembali ke bumi, pergi dari alam angan.


"Buka dong, Ra.", Bintang tersenyum. Tara membuka kotak kecil itu perlahan. Dia melihat seuntai kalung perak di dalam kotak tersebut. Kalung perak dengan liontin huruf T, inisial namanya. Kalung itu indah, tapi ada rasa kecewa di hati Tara karena isi kotak itu bukan cincin. Tara menatap Bintang yang sedang menunggu reaksinya. Segera Tara memasang senyum, "Bintang... Ini indah banget. You shouldn't have."

"Kamu suka? Sini aku pasangin.", Bintang mengambil kalung tersebut dari Tara dan memasangkannya. Tara berusaha sekuat tenaga menyembunyikan rasa kecewa dan menampilkan senyum yang paling manis.

"Nah, pacar aku makin cantik.", Bintang kembali tersenyum. Tara tersipu malu.

"Yuk, bentar lagi filmnya mulai lho.", Bintang beranjak dari kursi di restoran tempat mereka makan dan mengulurkan tangan pada Tara. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju bioskop. Di perjalanan pulang, Bintang merasa Tara jadi pendiam. Tara memeluk pinggang Bintang erat di atas sepeda motor.

"Hon, kamu kenapa?", tanya Bintang dengan sedikit berteriak mengalahkan deru angin dan bisingnya lalu lintas.

"Ga papa.", jawab Tara singkat, namun Bintang merasa Tara mengetatkan pelukannya.

"Kamu kedinginan? Mau pake jaket aku?"

"Gak usah, Hon. Aku ga papa kok."

Sesampainya di rumah Tara, Bintang tidak langsung pulang. Ia mengajak Tara mengobrol di taman.

"Kamu kenapa?", tanya Bintang lembut.

"Aku kepikiran film tadi...", jawab Tara akhirnya.

"Kepikiran yang bagian mana?"

"Yang ibu cowoknya ga setuju ma ceweknya. Yang ibunya ngomong: pokonya ibu ndak setuju. Kalo ternyata orang tua kamu ga setuju ma hubungan kita, gimana? Kalo masih ada alasan, ga setuju nya karena ini atau itu, masih bisa diusahakan supaya jadi setuju. Tapi kalo ga setujunya kayak di film tadi, pokonya ga setuju, tanpa ada alasan, terus aku harus gimana?", mata Tara mulai berkaca-kaca.

Bintang terdiam.

"Nggak lah, ga akan kejadian kayak film tadi.", Bintang berusaha menenangkan Tara.

"Tapi aku jarang kamu ajak ke keluarga kamu. Padahal kita udah 4 tahun jalan bareng. Aku ketemu orang tua kamu paling baru 3 kali. Sementara kamu sama keluarga aku udah deket. Kita ini sebenernya mau kemana sih, Bi? Awal pacaran kamu bilang mau serius ma aku. Aku juga maunya serius ma kamu."

"Aku serius kok, Ra."

"Bi, Bapak kemaren nanya ma aku, kapan kira-kira aku nikah. Bukan untuk memaksa atau mendesak kamu, Bi. Sama sekali ga ada niat kesana. Tapi kita udah jalan 4 tahun. Kalo emang tujuan kita ke pernikahan, kan Bapak harus mulai memilah-milah dan menyisihkan dana untuk pernikahan kita nanti. Aku ga minta dinikahin besok atau lusa, tapi boleh ga aku minta ada target dari kamu, misalnya tahun depan atau 2 tahun lagi? Supaya kita juga ngejalaninnya jelas, ada targetnya."

"Iya, Ra, aku ngerti maksud kamu. Kasih aku waktu ya, aku mau ngobrol ma keluarga aku.", Bintang menghela nafas panjang.

Tara tersentak. "Bintang baru mau ngobrol sama keluarganya? Apa selama ini dia ga pernah ngomong bahwa kami serius? Atau dia ga pernah kepikiran mau nikahin aku?", pikir Tara dalam hati.

"Iya. Udah ya, Bi. Aku masuk dulu. Kamu ati-ati di jalan, kabarin ya kalo udah nyampe."

"Istirahat ya, Ra. Mimpi indah.", Bintang pun memacu motornya setelah memastikan Tara sudah masuk rumah.

Sepanjang perjalanan Bintang termenung. Ia memikirkan kata-kata Tara. Sesampainya di rumah, setelah memberi salam pada orang rumah, Bintang segera masuk kamar. Ia mengirimkan sms pada Tara mengabarkan bahwa ia sudah sampai dan akan segera tidur.

Namun Bintang tidak bisa tidur. Kata-kata Tara terus terngiang. Ia ingat ketika awal berpacaran dengan Tara, Tara sudah berkata bahwa ia tidak mencari pacar namun mencari calon suami. Saat itu Bintang berkata bahwa ia pun berniat untuk serius dengan Tara. Bintang merasa nyaman dengan Tara, they've been best friends for years before Bintang finally confess. Semua orang bilang mereka cocok, Tara yang ekspresif cocok bersanding dengan Bintang yang lebih kalem. Their names also match. Dilihat dari segi zodiak, urusan yang Bintang tahu dari Tara tentunya, karena sebagai laki-laki Bintang tidak peduli remeh temeh seperti itu, mereka juga cocok.

"What else are you looking for, Bintang?", dia bertanya pada dirinya sendiri.

Bintang termenung. Selama ini ia yakin ia sayang pada Tara. Ia yakin ia menginginkan Tara di sisinya. Namun untuk menikah? Hal itu memang pernah ia bayangkan ketika awal ia sadar ia sayang pada Tara. Seiring berjalannya waktu, ia tidak pernah memikirkan pernikahan, sampai tadi ketika Tara bertanya. Bintang memeluk bantal sapi pemberian Tara erat.

"Apakah aku mencintainya? Kalau iya, kenapa aku masih ragu untuk menikahi Tara? Apa sih definisi cinta? Perasaan menggebu-gebu dan ingin selalu bersama seseorang? Atau perasaan nyaman yang aku rasa waktu bersama seseorang?"

"Ada yang bilang cemburu itu tandanya cinta. Pernahkah aku cemburu sama Tara? Hmm, rasanya belum pernah. Selama ini aku pikir aku ga cemburu karena aku percaya 100% sama Tara. Tapi, apakah alasan aku ga cemburu sama Tara karena aku percaya sama dia atau karena aku ga cinta?", semua pertanyaan membuat kepala Bintang pusing, hingga akhirnya ia tertidur.

Hari dan minggu berlalu. Tara berusaha tidak  mengungkit pertanyaan mengenai target pernikahan yang ia kemukakan beberapa waktu yang lalu. Namun, Bintang tidak tampak akan menjawab pertanyaan tersebut dalam waktu dekat. Tara merasa takut, apakah ia salah telah menanyakan hal tersebut pada Bintang? Apakah ia telah membuat Bintang merasa tertekan?

"I definitely need to sort my feelings out.", Bintang memutuskan. Dia pun mulai agak menjauh dari Tara. Tidak terlalu jauh hingga Tara curiga, namun juga tidak sedekat dulu. Dia mulai menilai, sebesar apa pengaruh kehadiran Tara di hidupnya. Apakah dia otomatis tersenyum dan bersemangat setiap kali menerima SMS dari Tara? Apakah ia rindu Tara?

Sementara itu, Tara merasakan perubahan di diri Bintang. Tara mendapat firasat yang amat buruk bahwa ia akan kehilangan Bintang. Sebagai seorang Pisces yang punya indra ke enam yang cukup baik, Tara terbiasa mempercayai firasatnya. Maka ia pun berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan Bintang dengan caranya. Dia memberi Bintang ruang yang diminta, walau Bintang tidak pernah meminta dengan blak-blak an. Namun, Tara memastikan Bintang tahu bahwa ia ada, bahwa ia menyayangi Bintang sepenuh hatinya, bahwa ia berusaha mengerti apa yang Bintang inginkan.

Bintang perlahan-lahan mulai menyadari sesuatu. Setiap SMS atau kabar dari Tara membuatnya tersenyum, namun senyum yang sama juga ia rasakan setiap ia menerima kabar dari sahabat-sahabatnya. Rasa nyaman yang ia rasakan setiap bersama dengan Tara juga ia rasakan setiap ia bersama sahabat-sahabatnya. Sementara ia melihat mata Tara selalu menatapnya penuh cinta setiap mereka bertemu. Bintang merasa amat bersalah. Dia tidak mencintai Tara seperti Tara mencintainya.

"How am I suppose to tell her all this?", Bintang selalu berpikir setiap kali mereka bertemu.


"Bu, Bintang mau ngomong.", setelah tiga bulan berlalu dan berada dalam kebimbangan, akhirnya Bintang memutuskan untuk bicara dengan orang tuanya.

"Ada apa, Mas?", tanya Ibunya.

"Bu, bagaimana pendapat Ibu tentang Tara?"

"Tara? Pacarmu itu, Mas? Hmmm... Gimana ya Mas, dia jarang kamu ajak kesini. Jadi Ibu susah untuk menilai dan berpendapat. Kenapa toh?"

"Yaaah, beberapa waktu lalu Bapaknya Tara nanya kira-kira hubungan kami mau kemana arahnya. Kalau memang mau menikah, kira-kira kapan. Gitu, Bu. Menurut Ibu gimana?"

"Kok kamu malah nanya Ibu toh? Kamu nya sendiri gimana? Niatmu sama Tara mau kemana? Mau nikah sama Tara? Sudah cocok sama dia?"

"Cocok sih, kayanya Bu. Makanya mau tanya pendapat Ibu sama Bapak."

"Terus terang ya, Mas, Ibu sama Bapak ga kepikiran kalau kalian serius. Soalnya kamu jarang ngajak Tara ke rumah. Kami belum kenal Tara, mungkin ga pantas kalau kami menilai dia. Tapi, yah kalau insting Ibu sih, kayanya kalian kurang cocok. Tapi Ibu ga bisa jelasin alasannya. Insting aja, Mas."

"Gitu ya, Bu.", Bintang termenung.

"Tapi kalau kamu memang merasa cocok, mbok ya Tara nya sering-sering diajak main kesini, jadi Ibu sama Bapak bisa kenal dan bisa memberikan masukan yang lebih baik buat kamu."

"Iya, Bu. Kasih Bintang waktu buat mikir."

"Ibu sama Bapak mau yang terbaik buat kamu, Mas. Kami cuma bisa kasih masukan, yang menjalani kan kamu. Pikirin baik-baik, Mas. Pernikahan bukan buat main-main. Ya?", Ibu Bintang mengusap kepala Bintang penuh rasa sayang.

"Iya, Bu.", Bintang mengecup pipi Ibunya.

Bintang iseng menggoogling nama Tara, ternyata terkait pada suatu blog. "Tara punya blog? Aku ga pernah tau.", pikir Bintang. Ia pun mengklik blog tersebut.

Yang Aku Cari

Apa sih yang aku cari?
Sesosok imam yang mampu memimpin aku?
Sesosok pria yang mampu menenangkan aku?
Sesosok lelaki yang bisa menafkahi aku?

Bukan...

Yang aku cari adalah sesosok laki-laki yang mau mendengarkan
Laki-laki yang menghargai pendapat seorang perempuan
Laki-laki yang menganggap aku sebagai rekan
Laki-laki yang menganggap kami setara, bahu membahu berumah tangga

Yang aku cari adalah seorang pria yang mampu membuatku tertawa
Pria yang mampu menertawakan kebodohannya
Pria yang masih bisa mencari rasa humor di tengah prahara
Pria yang mau tertawa bersama denganku, seorang wanita

Yang aku cari adalah seorang teman
Bukan sekedar pemimpin apalagi tiran
Seseorang yang tidak membuatku merasa bosan
Seorang yang memberi rasa nyaman

Aku cari seseorang yang aku sanggup hidup dengannya
Bukan seseorang yang aku tak sanggup hidup tanpanya
Tapi alangkah indahnya bila aku mendapatkan seseorang
Yang aku sanggup hidup dengannya dan tak sanggup hidup tanpanya

Semua yang aku cari ada di kamu...

Tapi sepertinya yang kamu cari tidak ada di aku...


published by Tara, 1 July 2014, 02.37 AM

"Astaga... Ini postingan terakhir Tara, hanya seminggu yang lalu.", Bintang terenyuh. Ia baru sadar betapa Tara amat mencintainya. Ia membuka semua postingan Tara pada blog tersebut, tidak banyak memang, namun semuanya membuat Bintang sadar bahwa ia terlalu menyepelekan insting Tara.

"What should I do?", Bintang tahu sebaiknya ia tidak berlama-lama mengambil keputusan. Sudah cukup lama ia menyiksa Tara dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian.

"Tapi bagaimana caranya mengungkapkan bahwa aku tidak mencintainya? Sementara ia mencintai aku... Aku memang jahat.", Bintang mengutuk dirinya sendiri.

"Ra, udah tidur?", Bintang akhirnya menelepon Tara.

"Belum. Kenapa, Bi?"

"Besok bisa ketemu? Ada yang mau aku omongin."

"Boleh, dimana? Jam berapa?"

"Siete Cafe, jam 3 sore? Aku ga bisa jemput, tapi nanti aku anter pulang."

"OK. Sampe besok.", Tara menutup telepon, dan berbaring nyalang menatap langit-langit kamarnya. Dia tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi pikiran buruk bahwa Bintang akan memutuskan hubungan mereka.

"Kalau Bintang minta putus, lalu aku harus gimana? Minta dipertahanin? Tapi apa gunanya aku minta dipertahanin? Kalau Bintang minta putus, berarti dia udah ga mau mempertahankan hubungan ini. Apa satu pihak saja cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan? Bukankah sebuah hubungan dibina oleh dua pihak? Kalau salah satu pihak sudah tidak mau mempertahankan, apakah akan ada gunanya bila pihak satunya ngotot mempertahankan?", air mata menetes di pipi Tara.

"But I don't wanna lose him. I want him in my life. Aku bisa menangis. Ada yang bilang titik lemah pria ada di air mata wanita... Kalau aku nangis, mungkin Bintang akan membatalkan keputusannya. Tapi akankah aku bahagia dengan memaksa Bintang menjalani hubungan ini?", Tara kebingungan. Ia pun menyetel radio sebagai pengalih perhatian.


Karena ku sanggup walau ku tak mau 
Berdiri sendiri tanpamu 
Ku mau kau tak usah ragu tinggalkan aku
Oh, kalau memang harus begitu
 

Tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
Ku 'kan selalu perjuangkan cinta kita
Namun apa salahku?
Hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu

Lagu Agnes Monica mengalun dari radio, lagu itu membuat Tara tersadar. Apapun yang terjadi besok, Bintang pasti punya alasan. Namun, Tara tak mau memberatkan langkah Bintang. Ia tidak ingin menjadi penyebab ketidakbahagiaan Bintang, walau dia sendiri harus menderita.

"Apapun yang terjadi besok, I won't cry in front of him.", keputusan itu diambil Tara.

Bintang tiba lebih cepat sedikit dari waktu yang dijanjikan.  Ia gelisah menunggu kedatangan Tara. Ia tak bisa tidur semalaman, memikirkan kata-kata apa yang akan diucapkannya. Apakah ia akan jujur pada Tara, atau.... Adakah jalan lain?

"Ra, aku...", Bintang menarik nafas panjang. Tara menunggu dengan sabar. "Aku mau kasih jawaban pertanyaan kamu beberapa bulan yang lalu."

Bintang bingung, apa yang harus dikatakannya. Dia melihat mata Tara dan dia bisa melihat cinta disana. Rasa yang tidak bisa dibalasnya. "What should I do?", Bintang kebingungan.

Pikirannya mengembara, dan tiba-tiba dia teringat percakapan malam itu. Dia ingat betapa bingungnya Tara kalau orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka.  Dan dia ingat, bahwa ibunya, walau tidak secara keras menentang, tapi ibunya merasa Tara bukan gadis yang tepat untuknya. "Can I use it as a reason?", Bintang menarik nafas.

"Ra, maaf aku baru jawab sekarang.", Bintang mengambil jeda.

"He's gonna break up with me. He can't even look me in the eye. Don't cry, Tara. You mustn't cry! No matter what!", Tara mulai panik. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi.

"Oh, please, don't say you wanna break up with me. I love you so much, can't you see?", Tara memohon dalam hati.

"Ra, maafin aku ya. I can't be with you anymore.", Bintang menggenggam jemari Tara.

"Why?", Tara menarik tangannya dari genggaman Bintang.

"Aku udah ngobrol sama Ibu Bapak. Mereka ga merestui hubungan kita, Ra. I've tried to convince them.", suara Bintang perlahan menghilang.

"Alasan ga setuju nya kenapa?", Tara berusaha keras menahan air mata nya. "It will be useless if he doesn't want to fight for me. How can I alone fight for this relationship? If he doesn't ask me to fight with him, I will let him go.", Tara memutuskan dalam hati.

"Ga tau, Ra. Ibu ga kasih alesan. Pokonya ga setuju.", Bintang makin bingung mencari alasan. Sementara Tara tersentak mendengar kalimat Bintang. "What? POKONYA? Kenapa harus sama ma film itu? Kenapa alasannya ga jelas gini?", ucap Tara dalam hati. Tara merasa putus asa.

Tara terdiam, tak sanggup berkata. Ia menahan tangis yang sudah diujung mata. Bintang tertegun melihat Tara diam.

"Ra, maaf Ra. Aku udah berusaha ngomong ma orang tua aku." BULLSHIT! Bintang memaki dirinya sendiri. "I'm such a coward! I can't even tell her the true reason."

"He's not even asking me to fight together. He doesn't want this relationship to last. How can I go on? Should I ask him to fight with me? But he doesn't want to fight. But I want him to stay by my side.... But it would be selfish. Will I be happy with someone who doesn't want to fight for me?", Tara merenung.

Bintang semakin was-was melihat Tara terdiam. "What if she asks me to fight for her? Should I tell her the truth, then? Look at her, she fought with all her might not to shed a tear. What should I do if she cries? I can't afford to see her cry."

"OK. I already lose you as a boyfriend, please still be my friend. I can't imagine if we're not friends anymore. Can you at least do that? I know we will need some time to sort out our feelings, but please, eventually, can you promise me that we will still be friends?", Tara berkata lirih setelah menarik nafas panjang.

"OK, I promise.", tanpa sadar Bintang menghembuskan nafas lega.

"I'm leaving now, you don't have to take me home. I'll just take a cab.", Tara beranjak pergi.

"Let me take you home for the last time. It's the least I can do.", Bintang berusaha mencegah Tara pulang sendirian.

"No, it will be harder for me to let you go." Tara tersenyum. "Take care, Bi." Ketika Tara berpaling dan mulai melangkah, saat itu juga air matanya menggenang dan mulai menetes. Dia sudah tak sanggup lagi menahan tangis, tapi setidaknya dia berhasil memenuhi janji untuk tidak menangis di depan Bintang. Bintang hanya bisa menatap punggung Tara, wondering if he's made the right decision.

Where does love go when you're not in love?
How does it feel when nobody wants it?
Tell me, does it float around like a little lost cloud
When a heart is not its home?
 

What does love do when it's not being used?
Feeling like it just don't belong
Tell me, is it laying awake in the middle of the night
Just thinking 'bout what went wrong?
 

'Cause when I look in your eyes, it's just not there
When I hunger for affection, the cupboard is bare
I don't know why I keep holding on
When love's got the message and it's already gone

Why am I always the last to know?
Tell me why is it always me alone still dancing when the party's over
Why am I always the last to see?
Just a fool who believes you're still in love with me
Even love can see it's over
I'm always the last to know


"I'm such a fool...", Tara terisak.

Comments

Popular posts from this blog

Tick Tock Escape

I should have wrote this review sooner . Akhir-akhir ini lagi happening banget game detektif-detektif-an atau puzzle rooms . Awalnya denger tentang game ginian dari adikku tersayang, karena di Jakarta katanya nge- trend banget. Dia yakin aku bakalan suka game ini dan ngajakin main di Bandung. Salah satu tempat yang eksis banget itu namanya Ticktock Escape Room di Ciwalk Bandung. Awalnya nyoba main room yang level medium , pilihannya The Mansion's Heist atau Murder at Opera House. Kita main bertiga: aku, adikku, dan sepupuku. Biayanya lumayan sekali main, di atas 100 rb per orang. Biaya dan info lebih lengkap bisa liat disini . Lebih banyak pemainnya, biaya per orang nya jadi lebih murah. Kita nyoba main di Murder at Opera House. Sebelum masuk, semua HP dan tas harus disimpan di loker yang ada di luar ruangan. Pokonya masuk ke dalam ruangan itu hanya bawa diri sendiri aja, ga bawa pulpen atau apapun. Lebih baik booking dulu sebelum main, supaya room yang kita mau

A Journey To India (part 2)

So, kemaren sampe mana ceritanya? Ngurus-ngurus dokumen ya? Well, here's some more. Flight gw jam 11.50 siang dari Cengkareng, naik Malaysia Airlines. Yep, the famous MH flights yang ada di berita akhir-akhir ini. Berangkat naik Primajasa jam 5 pagi, dan pas sebelom berangkat tiba-tiba ibu naik ke bis hanya untuk ngasih tasbih. Tasbih! Bikin makin gimanaaaaaa ga sih? Hehehehe.. Well , bismillah. Here I go! Yang bikin deg-degan sebenernya adalah will I make it ? Karena biasanya pergi dinas kan berdua. At least kalo ada apa-apa, ya ada temennya. Ini sendirian banget. Serius, gw takut. Apalagi dengan tensi yang masih tinggi, ngukur sebelum berangkat di 150/100. Tapiii yaaa dijalani aja. Berangkat jam 5, nyampe bandara jam 8an. Kepagian. Mau check in , nunggu dulu lah jam 9an. Nongkrong sendirian kayak orang bingung di bandara. Sarapan roti di kursi tunggu yang di luar gate, so sad actually . I feel all alone. Abis sarapan, minum obat, nongkrong, bengong, akhirnya memut

Buang sampah

from pexels.com Selalu miris kalo liat ada yang buang sampah sembarangan. Baik itu dari mobil dilempar ke luar, buang sampah di dalam angkot, atau sambil jalan kaki dilempar aja sampahnya dengan cuek. Tapi paling miris kalo liat ada anak kecil yang ngasihin sampahnya ke ibunya, lalu ibunya dengan enteng ngebuang sampahnya gitu aja ke selokan atau jalan.  Is it so hard to keep your trash with you until you find a trash can?? Apa susahnya ngantongin bungkus permen sampe nemu tempat sampah? Atau masukin bungkus makanan ringan ke tas sampe nyampe rumah dan lalu dibuang di tempat sampah? Dari kecil, gw selalu diajarin Ibu untuk ngantongin atau megang sampah (bungkus permen, botol minum kemasan, bungkus makanan ringan) sampe nemu tempat sampah atau sampe pulang ke rumah. Tapi kenapa orang tua jaman sekarang kebanyakan ga seperti itu? Padahal mereka yang paling kenceng protes kalo rumahnya kebanjiran karena selokannya penuh sampah. Mereka juga yang suka bi