Skip to main content

Keeping a promise and value of a person

Kemarin ada kejadian yang membuat aku berpikir.

Seorang teman baik, yang kini tinggal dan bekerja di Norway nun jauh disana, sedang pulang kampung ke Indonesia sekeluarga. Namanya Winia. Suaminya bernama Yan, anaknya bernama Lana dan Lisha. Sudah menjadi kebiasaan setiap mereka pulang, kami selalu menyempatkan untuk bertemu walau hanya sebentar. 2 minggu yang lalu Winia memberi kabar bahwa dirinya sudah di Indonesia sejak beberapa minggu yang lalu, namun ia sibuk menyiapkan acara lamaran adik bungsunya sehingga baru sekarang ada waktu untuk bertemu teman2. Kami sangat bersemangat untuk bertemu kembali sekadar bertukar kabar, sambil melihat anak keduanya, Lisha, yang masih berumur 10 bulan. Jadi, kami pun mengatur jadwal.

Rencana awal, kami akan bertemu tanggal 10 Agustus. Semua orang sudah OK dengan jadwal tersebut, namun ketika dicocokkan dengan Winia, ternyata dia sudah ada acara keluarga pada tanggal tersebut. Dimajukan ke tanggal 9 Agustus ternyata hampir semua tidak bisa. Maka disepakati lah akan bertemu pada tanggal 16 Agustus sore hari karena siang harinya Winia ada acara dengan teman2nya yang lain. Itu adalah hari terakhir Winia di Indonesia, karena tanggal 17 Agustus mereka sudah harus kembali ke Norway.

Kang Irvan dan Endar menyanggupi akan hadir, Datika dan anaknya akan mengusahakan datang dari Jakarta untuk hadir, Fira mengatakan belum ada acara pada tanggal tersebut dan akan hadir pula, aku tentu saja akan hadir.

Hari-hari berlalu. Tempat dan jam sudah disepakati, Braga Citywalk jam 3 sore. Pada hari Jumat, 15 Agustus, konfirmasi kehadiran masih didapatkan dari seluruh pihak terkait. Lalu tibalah hari H.

Pagi itu dimulai dengan aku bersin2 tanpa henti. Flu mulai melanda. Setelah kutanya dokter langgananku, ternyata ia praktek jam 3 sore, dan besok libur. Menilik dari pengalaman yang sudah2, flu ku tidak bisa dianggap enteng. Aku harus segera ke dokter. Hari semakin siang dan radang tenggorokan mulai menyertai. Akhirnya dengan berat hati kuputuskan bahwa aku harus ke dokter sebelum bertemu dengan Winia. Aku pun memberi kabar bahwa aku akan datang terlambat. Sayangnya, kabar aku akan datang terlambat disambut dengan:

Fira: iya, aku juga masih di PVJ. Kalau ga keburu ketemuan, salam aja ya buat Wini.
Datika: aku masih di jalan, KM50. Bis nya mati ACnya, jadi harus ganti bis.
Kang Irvan dan Endar: oh, jam 3? Wah, ga keburu kalo jam 3. Telat dikit deh.

Jawaban mereka membuat aku emosi.

Aku tahu, diantara kami memang aku yang paling tepat waktu, tidak bermaksud menyombong tapi itu kenyataannya. Datika sudah amat sangat terbiasa ngaret, kami semua sudah maklum atas sikapnya itu. Kang Irvan dan Endar punya anak kecil, biasanya mereka ngaret karena urusan anaknya itu. Fira biasanya cukup on time, namun aku ga ngerti apa yang dia lakukan di PVJ sementara ia sudah punya rencana dengan kami. Namun semua emosiku itu aku tahan saja.

Tapi semua itu membuat aku berpikir.

Seberapa besar kau menghargai seseorang, maka sebesar itu pula lah usahamu untuk menepati janji, termasuk menjadi tepat waktu, dengan orang tersebut.

Aku selalu menghargai waktu orang lain. Bila aku terlambat karena kemacetan lalu lintas, atau hal lain, pasti aku akan memberi kabar pada orang tersebut dan meminta maaf. Aku tahu betapa tidak enaknya menunggu.

Apalagi orang yang akan kutemui ini Winia, seorang teman baik dari negeri nun jauh disana, belum tentu setiap tahun bisa pulang kampung. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tepat waktu, karena aku menghargai dia sebegitu besarnya.

Tapi mungkin nilai Winia di mata yang lain tidak sebegitu besar. Ambil contoh  bila kamu punya janji bertemu dengan atasanmu jam sekian, bukankah kamu akan menepati jam itu? Itu karena kamu menghargai dan menghormati atasanmu kan? Apa bedanya dengan janji pada seorang teman?

Meski mungkin kesimpulanku ini tidak berlaku untuk semua orang, namun aku pribadi percaya, bahwa menepati janjimu pada seseorang menunjukkan seberapa besar kau menghargai dan menghormati orang tersebut.

Waktu tidak akan pernah bisa berputar kembali.

So, I'm praying that I could always be punctual to show my respect for someone, even if he/she doesn't realize that.

Have a blessed life ahead, Win. Semoga kamu bisa pulang setiap tahun. Aamiin.

Ah, Yan juga sempat berkata padaku, "Tahun depan kalau kita ketemuan lagi, kamu ganti status dong.". AAMIIN.. :)
 
Me with Lana and Lisha
Me with Lisha
Everyone that finally meets, minus Fira, and minus Kang Irvan and Endar who had to go home early. (Ki-ka: Rambu, Lana, Datika, Josy, Winia, Me, Lisha, and Yan on the back)
Kumpul bocah! (Ki-ka: Josy, Datika, Lana, Me, Lisha, Endar, Raisa, Winia)

Comments

Popular posts from this blog

Tick Tock Escape

I should have wrote this review sooner . Akhir-akhir ini lagi happening banget game detektif-detektif-an atau puzzle rooms . Awalnya denger tentang game ginian dari adikku tersayang, karena di Jakarta katanya nge- trend banget. Dia yakin aku bakalan suka game ini dan ngajakin main di Bandung. Salah satu tempat yang eksis banget itu namanya Ticktock Escape Room di Ciwalk Bandung. Awalnya nyoba main room yang level medium , pilihannya The Mansion's Heist atau Murder at Opera House. Kita main bertiga: aku, adikku, dan sepupuku. Biayanya lumayan sekali main, di atas 100 rb per orang. Biaya dan info lebih lengkap bisa liat disini . Lebih banyak pemainnya, biaya per orang nya jadi lebih murah. Kita nyoba main di Murder at Opera House. Sebelum masuk, semua HP dan tas harus disimpan di loker yang ada di luar ruangan. Pokonya masuk ke dalam ruangan itu hanya bawa diri sendiri aja, ga bawa pulpen atau apapun. Lebih baik booking dulu sebelum main, supaya room yang kita mau

A Journey To India (part 2)

So, kemaren sampe mana ceritanya? Ngurus-ngurus dokumen ya? Well, here's some more. Flight gw jam 11.50 siang dari Cengkareng, naik Malaysia Airlines. Yep, the famous MH flights yang ada di berita akhir-akhir ini. Berangkat naik Primajasa jam 5 pagi, dan pas sebelom berangkat tiba-tiba ibu naik ke bis hanya untuk ngasih tasbih. Tasbih! Bikin makin gimanaaaaaa ga sih? Hehehehe.. Well , bismillah. Here I go! Yang bikin deg-degan sebenernya adalah will I make it ? Karena biasanya pergi dinas kan berdua. At least kalo ada apa-apa, ya ada temennya. Ini sendirian banget. Serius, gw takut. Apalagi dengan tensi yang masih tinggi, ngukur sebelum berangkat di 150/100. Tapiii yaaa dijalani aja. Berangkat jam 5, nyampe bandara jam 8an. Kepagian. Mau check in , nunggu dulu lah jam 9an. Nongkrong sendirian kayak orang bingung di bandara. Sarapan roti di kursi tunggu yang di luar gate, so sad actually . I feel all alone. Abis sarapan, minum obat, nongkrong, bengong, akhirnya memut

Buang sampah

from pexels.com Selalu miris kalo liat ada yang buang sampah sembarangan. Baik itu dari mobil dilempar ke luar, buang sampah di dalam angkot, atau sambil jalan kaki dilempar aja sampahnya dengan cuek. Tapi paling miris kalo liat ada anak kecil yang ngasihin sampahnya ke ibunya, lalu ibunya dengan enteng ngebuang sampahnya gitu aja ke selokan atau jalan.  Is it so hard to keep your trash with you until you find a trash can?? Apa susahnya ngantongin bungkus permen sampe nemu tempat sampah? Atau masukin bungkus makanan ringan ke tas sampe nyampe rumah dan lalu dibuang di tempat sampah? Dari kecil, gw selalu diajarin Ibu untuk ngantongin atau megang sampah (bungkus permen, botol minum kemasan, bungkus makanan ringan) sampe nemu tempat sampah atau sampe pulang ke rumah. Tapi kenapa orang tua jaman sekarang kebanyakan ga seperti itu? Padahal mereka yang paling kenceng protes kalo rumahnya kebanjiran karena selokannya penuh sampah. Mereka juga yang suka bi