"Pak, saya izin keluar sebentar. Sakit perut.", kudengar sayup-sayup suaramu. Aku yang sedang konsentrasi meng-copy paste file di laptop yang terhubung dengan layar infocus, tidak menoleh. Aku hanya berpikir, ckckck ternyata penyakitmu kambuh lagi. Ya, kamu memang sering mendadak sakit perut.
Aku tetap berkonsentrasi pada rapat yang sedang berlangsung. Aku mendadak ditunjuk menjadi tukang ketik, dan karena ketikanku langsung terhubung pada layar besar, maka aku berkonsentrasi penuh kesana. Rapat sudah hampir selesai, posisiku sebagai tukang ketik digantikan oleh rekanku. Aku menoleh, mencari-cari dirimu. Kamu tidak kembali lagi ke ruang rapat.
"Dia kemana, Bu?", aku bertanya pada salah satu teman.
"Dia izin pulang, katanya Bapaknya sakit keras.", jawab temanku.
"Ooh..", jawabku pendek. Aku tahu bapakmu memang sedang sakit. Kamu pernah cerita padaku. Selesai rapat, aku berlari ke ruang Tata Usaha untuk mencetak hasil rapat tadi.
"Bu, tadi Ibu dicari oleh bu Aini dari TU depan. Saya bilang Ibu sedang rapat.", sapa salah satu staff TU padaku.
"Aini?", jawabku heran. Tumben, ada apa kekasihmu mencariku? Ya, kekasihmu, yang juga satu kantor dengan kita. Segera kutelepon ekstension kekasihmu.
"Aini, tadi cari saya, ada apa?", tanyaku.
"Iya, Mbak. Mbak sudah dengar kabar si Mas?", jawabnya, memanggilmu dengan sebutan Mas, sebutan mesra yang tidak bisa kupergunakan padamu.
"Sudah.", jawabku pendek. Dalam pikiranku, pasti kekasihmu merujuk pada sakitnya bapakmu.
"Oh... Kalau begitu, dari Subdit Mbak ada rencana kesana tidak?", tanya kekasihmu lagi. Aku mulai merasakan firasat buruk.
"Rencana kesana bagaimana maksudnya? Bukannya bapaknya masih sakit?", tanyaku takut-takut.
"Oh, iya, Mbak. Jadi, bapaknya si Mas sudah meninggal dunia jam 10 pagi tadi. Saya tadi dikabari oleh adiknya Mas. Mungkin memang sengaja belum memberitahu ke Mas, supaya Mas pikirannya tenang di jalan. Kalau ada rencana kesana, kalau boleh, saya mau ikut Mbak. Angkutan umum ke kampung si Mas agak susah.", jelas kekasihmu.
"Innalllahi... Ya sudah, tolong carikan informasi jam berapa jenazah akan dikebumikan. Saya bicarakan dulu dengan atasan.", aku segera menyudahi telepon, melirik jam dinding. Sudah pukul 11.15 siang.
Aku segera menghadap ke atasan kita, membicarakan mengenai meninggalnya bapakmu dan rencana melayat dari Subdit kita. Kampungmu cukup jauh, 6 jam perjalanan dari kantor. Kubicarakan pula mengenai keinginan kekasihmu untuk ikut melayat. Akhirnya diputuskan pukul 12.30 akan berangkat dari kantor, yang melayat 2 orang atasan kita, dan kekasihmu. Aku tadinya sudah tidak akan ikut melayat, aku tak yakin sanggup melihatmu menangis. Namun atasan kita berpendapat lain. Aku diminta ikut untuk menemani kekasihmu sebagai sesama perempuan. Akhirnya aku pun mengalah, dan setuju untuk ikut melayat.
Kekasihmu tahu bahwa aku suka menggodamu. Dia bahkan kadang suka bercanda dengan menyebutku sebagai pacar keduamu. Dia pasti tidak menyangka bahwa aku sungguhan menyukaimu. Aku memang selalu menutupi rasa sukaku padamu dengan canda dan goda. Kekasihmu perempuan yang baik, itulah sebabnya aku tak tega merusak hubunganmu dengannya.
Kami pun berangkat, sedikit mengebut agar bisa mengejar pemakaman bapakmu. Di jalan, ketika mengobrol dengan kekasihmu, aku tahu bahwa dia mengambil cuti selama seminggu. Aku pun tahu bahwa orang tua kekasihmu pun sudah berangkat menuju rumahmu untuk melayat. Ah, meskipun aku sudah tahu bahwa kamu sudah melamarnya, tetap saja aku merasa iri pada kekasihmu. Iri pada keseriusan hubungan kalian.
Di jalan, bolak balik kekasihmu meneleponmu. Menanyakan ancer-ancer jalan menuju rumahmu, menanyakan kabarmu. Aku hanya bisa mencuri dengar pembicaraanmu dengannya, menebak-nebak apa yang kalian bicarakan berdasarkan respon kekasihmu.
Bapakmu dimakamkan pukul 5 sore, sementara kami baru sampai ke rumahmu pukul 6.40 malam. Kekasihmu berjalan agak di depan, untuk menunjukkan jalan pada kami. Sekilas kulihat bayanganmu dari jendela, kamu pun melihat rombongan kecil kami dan bergegas menyambut keluar rumah.
Senyummu sumringah sekali ketika melihat kami. Kalau boleh aku ge-er, senyummu sumringah ketika melihatku ada dalam rombongan pelayat. Atau, senyum itu kamu tujukan pada kekasihmu yang berada tepat di depanku?
"Jauh, ya, rumah saya?", itu pertanyaan pertama yang kamu ajukan padaku. Pertanyaan pertama setelah kamu jabat tanganku erat dan mengucapkan terima kasih atas kedatanganku. Aku hanya tersenyum dan menjawab "Lumayan.". Lalu kita mengobrol, kusampaikan titipan salam dan ucapan bela sungkawa dari teman-teman kantor yang tidak ikut melayat. Kulihat kamu cukup tabah menghadapi kepergian bapakmu. Syukurlah.
Hanya sebentar kita bersua. Kami harus segera pulang kembali karena perjalanan cukup jauh. Kamu menjabat tanganku erat ketika kami berpamitan. Entah kenapa, melihat matamu, aku merasa bahwa kamu sebenarnya ingin memelukku erat andai saja tidak ada keluargamu, keluarga kekasihmu, kekasihmu, dan atasan kita. Aku pun ingin memelukmu, memberi sedikit kekuatan padamu. Tapi kita tidak bisa, ya kan? Ya, kita tidak bisa.
"Makasih banget udah dateng. Nanti kalau udah sampe rumah, kabarin ya.", katamu perlahan sambil menjejeri langkahku. Kamu dan kekasihmu mengantar kami sampai ke mobil. Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum. Kulambaikan tangan padamu dan kekasihmu.
Aku tetap berkonsentrasi pada rapat yang sedang berlangsung. Aku mendadak ditunjuk menjadi tukang ketik, dan karena ketikanku langsung terhubung pada layar besar, maka aku berkonsentrasi penuh kesana. Rapat sudah hampir selesai, posisiku sebagai tukang ketik digantikan oleh rekanku. Aku menoleh, mencari-cari dirimu. Kamu tidak kembali lagi ke ruang rapat.
"Dia kemana, Bu?", aku bertanya pada salah satu teman.
"Dia izin pulang, katanya Bapaknya sakit keras.", jawab temanku.
"Ooh..", jawabku pendek. Aku tahu bapakmu memang sedang sakit. Kamu pernah cerita padaku. Selesai rapat, aku berlari ke ruang Tata Usaha untuk mencetak hasil rapat tadi.
"Bu, tadi Ibu dicari oleh bu Aini dari TU depan. Saya bilang Ibu sedang rapat.", sapa salah satu staff TU padaku.
"Aini?", jawabku heran. Tumben, ada apa kekasihmu mencariku? Ya, kekasihmu, yang juga satu kantor dengan kita. Segera kutelepon ekstension kekasihmu.
"Aini, tadi cari saya, ada apa?", tanyaku.
"Iya, Mbak. Mbak sudah dengar kabar si Mas?", jawabnya, memanggilmu dengan sebutan Mas, sebutan mesra yang tidak bisa kupergunakan padamu.
"Sudah.", jawabku pendek. Dalam pikiranku, pasti kekasihmu merujuk pada sakitnya bapakmu.
"Oh... Kalau begitu, dari Subdit Mbak ada rencana kesana tidak?", tanya kekasihmu lagi. Aku mulai merasakan firasat buruk.
"Rencana kesana bagaimana maksudnya? Bukannya bapaknya masih sakit?", tanyaku takut-takut.
"Oh, iya, Mbak. Jadi, bapaknya si Mas sudah meninggal dunia jam 10 pagi tadi. Saya tadi dikabari oleh adiknya Mas. Mungkin memang sengaja belum memberitahu ke Mas, supaya Mas pikirannya tenang di jalan. Kalau ada rencana kesana, kalau boleh, saya mau ikut Mbak. Angkutan umum ke kampung si Mas agak susah.", jelas kekasihmu.
"Innalllahi... Ya sudah, tolong carikan informasi jam berapa jenazah akan dikebumikan. Saya bicarakan dulu dengan atasan.", aku segera menyudahi telepon, melirik jam dinding. Sudah pukul 11.15 siang.
Aku segera menghadap ke atasan kita, membicarakan mengenai meninggalnya bapakmu dan rencana melayat dari Subdit kita. Kampungmu cukup jauh, 6 jam perjalanan dari kantor. Kubicarakan pula mengenai keinginan kekasihmu untuk ikut melayat. Akhirnya diputuskan pukul 12.30 akan berangkat dari kantor, yang melayat 2 orang atasan kita, dan kekasihmu. Aku tadinya sudah tidak akan ikut melayat, aku tak yakin sanggup melihatmu menangis. Namun atasan kita berpendapat lain. Aku diminta ikut untuk menemani kekasihmu sebagai sesama perempuan. Akhirnya aku pun mengalah, dan setuju untuk ikut melayat.
Kekasihmu tahu bahwa aku suka menggodamu. Dia bahkan kadang suka bercanda dengan menyebutku sebagai pacar keduamu. Dia pasti tidak menyangka bahwa aku sungguhan menyukaimu. Aku memang selalu menutupi rasa sukaku padamu dengan canda dan goda. Kekasihmu perempuan yang baik, itulah sebabnya aku tak tega merusak hubunganmu dengannya.
Kami pun berangkat, sedikit mengebut agar bisa mengejar pemakaman bapakmu. Di jalan, ketika mengobrol dengan kekasihmu, aku tahu bahwa dia mengambil cuti selama seminggu. Aku pun tahu bahwa orang tua kekasihmu pun sudah berangkat menuju rumahmu untuk melayat. Ah, meskipun aku sudah tahu bahwa kamu sudah melamarnya, tetap saja aku merasa iri pada kekasihmu. Iri pada keseriusan hubungan kalian.
Di jalan, bolak balik kekasihmu meneleponmu. Menanyakan ancer-ancer jalan menuju rumahmu, menanyakan kabarmu. Aku hanya bisa mencuri dengar pembicaraanmu dengannya, menebak-nebak apa yang kalian bicarakan berdasarkan respon kekasihmu.
Bapakmu dimakamkan pukul 5 sore, sementara kami baru sampai ke rumahmu pukul 6.40 malam. Kekasihmu berjalan agak di depan, untuk menunjukkan jalan pada kami. Sekilas kulihat bayanganmu dari jendela, kamu pun melihat rombongan kecil kami dan bergegas menyambut keluar rumah.
Senyummu sumringah sekali ketika melihat kami. Kalau boleh aku ge-er, senyummu sumringah ketika melihatku ada dalam rombongan pelayat. Atau, senyum itu kamu tujukan pada kekasihmu yang berada tepat di depanku?
"Jauh, ya, rumah saya?", itu pertanyaan pertama yang kamu ajukan padaku. Pertanyaan pertama setelah kamu jabat tanganku erat dan mengucapkan terima kasih atas kedatanganku. Aku hanya tersenyum dan menjawab "Lumayan.". Lalu kita mengobrol, kusampaikan titipan salam dan ucapan bela sungkawa dari teman-teman kantor yang tidak ikut melayat. Kulihat kamu cukup tabah menghadapi kepergian bapakmu. Syukurlah.
Hanya sebentar kita bersua. Kami harus segera pulang kembali karena perjalanan cukup jauh. Kamu menjabat tanganku erat ketika kami berpamitan. Entah kenapa, melihat matamu, aku merasa bahwa kamu sebenarnya ingin memelukku erat andai saja tidak ada keluargamu, keluarga kekasihmu, kekasihmu, dan atasan kita. Aku pun ingin memelukmu, memberi sedikit kekuatan padamu. Tapi kita tidak bisa, ya kan? Ya, kita tidak bisa.
"Makasih banget udah dateng. Nanti kalau udah sampe rumah, kabarin ya.", katamu perlahan sambil menjejeri langkahku. Kamu dan kekasihmu mengantar kami sampai ke mobil. Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum. Kulambaikan tangan padamu dan kekasihmu.
Belum semenit mobil berjalan, HP ku berbunyi tanda ada SMS masuk. SMS darimu.
Makasiiiih banget udah nyempetin dateng. Tolong kasih kabar ya kalo udah sampe rumah.
Sama-sama. Pokonya kamu yang kuat ya, yang sabar. Nanti dikasih tau kalo udah sampe.
Aku menjawab SMSmu sambil berusaha berpikir positif bahwa perhatianmu itu sekedar perhatian pada teman. Tidak lebih. Kuingat-ingat dalam pikiranku betapa kekasihmu sudah sangat akrab dengan keluargamu, betapa keluarga kalian sudah saling cocok, betapa tidak ada ruang untukku disana.
Ketika kukirim SMS padamu jam setengah 2 pagi, saat aku baru saja masuk rumah, kau langsung membalas SMSku. Membuatku berpikir bahwa sedari tadi kau sengaja bangun dan menunggu kabar dariku. Membuatku terharu, membuatku makin menyayangimu. Tapi aku tahu, tidak ada "kita" antara kamu dan aku. Yang ada adalah kamu dan kekasihmu, serta aku sendiri disini.
Ketika kukirim SMS padamu jam setengah 2 pagi, saat aku baru saja masuk rumah, kau langsung membalas SMSku. Membuatku berpikir bahwa sedari tadi kau sengaja bangun dan menunggu kabar dariku. Membuatku terharu, membuatku makin menyayangimu. Tapi aku tahu, tidak ada "kita" antara kamu dan aku. Yang ada adalah kamu dan kekasihmu, serta aku sendiri disini.
Tapi, sungguh, kuingin kamu inginiku... :(
Comments
Post a Comment